ARTIKEL
ADAT |
Bahasa batak Karo |
 |
|
Bahasa
Batak Karo adalah bentuk bahasa Austronesia Barat yang digunakan di
daerah Pulau Sumatera sebelah utara pada wilayah Kepulauan Indonesia.
Istilah "Batak" sendiri mengacu pada sekumpulan kelompok yang memiliki
kaitan secara kultural yang mendiami sebagian besar wilayah pedalaman
Provinsi Sumatera Utara yang berpusat di daerah Danau Toba. Tiap-tiap
kelompok ini memiliki riwayat, tatanan sosial, serta bahasa yang khas
satu sama lain.
Masyarakat Batak Toba yang berdiam di wilayah Pulau Samosir yang
terletak di tengah-tengah Danau Toba serta wilayah sebelah timur,
selatan, dan tenggara dari danai ini telah menjadi bahan kajian
linguistik dan antropologi selama lebih dari satu abad lamanya. Bahasa
yang mereka gunakan pertama kali mulai mendapat sorotan pada saat H.N.
van der Tuuk menerbitkan karya gramatika klasik pada tahun 1864 yang
berjudul Tobasche Spraakkunst (kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris pada tahun 1971).
Di paruh abad terakhir ini terdapat sejumlah besar masyarakat Batak Toba
yang bermigrasi ke seluruh penjuru wilayah dan menumbuhkan sejumlah
besar komunitas masyarakat Batak Toba di sepanjang pesisir timur wilayah
Sumatera Utara, di Aceh, dan juga di Pulau Jawa, maupun di berbagai
wilayah suku Batak lain. Terutama sebagai akibat dari mobilitas sosial
mereka yang tinggi serta penyebaran yang meluas secara geografis,
istilah "Batak" ini telah hampir secara murni diselaraskan dengan
pengertian "Batak Toba".
Jauh di sebelah selatan Danau Toba dan jauh mencapai perbatasan provinsi
Sumatera Barat, terdapat masyarakat Batak Angkola dan Batak Mandailing.
Sedang pada sisi timur laut Danau Toba terdapat mayarakat Batak
Simalungun yang wilayah aslinya kini telah banyak didiami oleh
masyarakat Batak Toba yang bermigrasi ke wilayah ini. Fenomena serupa
terjadi juga di wilayah Batak Pakpak yang terletak di sisi barat dan
barat daya Danau Toba. Oleh karena kondisi yang demikian, kini didapati
kaum masyarakat Batak Simalungun dan Batak Pakpak yang fasih berbahasa
Batak Toba di samping bahasa asli mereka sendiri.
Masyarakat Batak Karo sendiri bermukin di wilayah sebelah barat laut
Danau Toba yang mencakup luas wilayah sekitar 5.000 kilometer persegi
yang secara astronomis terletak sekitar antara 3? dan 3'30? lintang
utara serta 98? dan 98'30? bujur timur. Wilayah Tanah Karo tersusun atas
dua wilayah utama sebagai berikut:
- Dataran tinggi Tanah Karo, yang mencakup seluruh wilayah Kabupaen Karo
dan pusat administratifnya di kota Kabanjahe. Wilayah dataran tinggi
Tanah Karo ini menjorok ke selatan hingga masuk ke wilayah Kabupaten
Dairi (khususnya Kecamatan Taneh Pinem dan Tiga Lingga), serta ke arah
timur masuk ke bagian wilayah Kecamatan Si Lima Kuta yang terletak di
Kabupaten Simalungun. Masyarakat Karo menyebut wilayah pemukiman dataran
tinggi ini dengan nama Karo Gugung.
- Dataran rendah Tanah Karo yang mencakup wilayah-wilayah kecamatan dari
Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang yang terletak pada bagian
ujung selatan secara geografis ( namun tertinggi secara topografis).
Wilayah ini dimulai dari plato Tanah Karo yang membentang ke bawah
hingga mencapai sekitar kampung-kampung Bahorok, Namo Ukur, Pancur Batu,
dan Namo Rambe yang ada di sebelah utara, serta Bangun Purba, Tiga
Juhar, dan Gunung Meriah di sisi timur. Masyarakat Karo menyebut daerah
ini dengan nama Karo Jahe (Karo Hilir).
Wilayah dataran tinggi Tanah Karo dianggap sebagai pusat kebudayaan dan
tanah asli nenek moyang masyarakat Batak Karo. Di wilayah ini, bahasa
tidak banyak tersentuh oleh pengaruh-pengaruh luar dan ikatan
kekerabatan serta kehidupan tradisional masih terpelihara sangat kuat.
Kebanyakan masyarakat dataran tinggi Karo hidup dari bercocok tanam
kecil-kecil dengan menanam padi dan sayur-sayuran untuk konsumsi
sehari-hari serta berbagai tanam-tanaman komersial untuk kebutuhan pasar
domestik dan ekspor.
Wilayah pemukinan dataran rendah yang ada di Kabupaten Langkat dan
Kabupaten Deli Serdang umumnya lebih terorientasi pada produksi
tanam-tanaman budidaya seperti karet dan kelapa sawit. Wilayah dataran
rendah Karo ini lebih banyak menyerap pengaruh masyarakat Melayu pesisir
yang pada umumnya menganut agama Islam dant erkadang mengharuskan
mereka menyisihkan nama marga mereka sehingga hubungan kekerabatan
dengan sanak-saudara mereka di dataran tinggi jadi terputus.
Selain kefasihan dalam berbahasa Karo, ciri identitas terpenting seorang
Karo dapat diketahui dari nama marga yang bersangkutan. Orang-orang
Karo memiliki lima macam klan patrilineal atau marga, yaitu Karo-karo,
Ginting, Tarigan, Sembiring, dan Peranginangin. Tiap-tiap marga ini
terpecah lagi menjadi 13 hingga 18 submarga, sehingga secara keseluruhan
dapat dijumpai sbanyak 83 submarga. Seluruh marga dan submarga ini
merupakan nama-nama khas yang ada pada masyarakat Karoo, naum sering
juga tampak memiliki keterkaitan dengan nama-nama marga dari kelompok
masyarakat suku-suku Batak lain, khususnya masyarakat Batak Simalungun
dan Batak Pakpak. Identitas dan subetnis orang Batak ini pada umumnya
dapat langsung diketahui dari nama marganya, misal marga Tarigan dan
Sembiring adalah marga khas Batak Karo, nama Saragih dan Damanik adalah
marga khas Batak Simalungun, nama Bancin dan Berutu adalah marga khas
Batak Pakpak, dan sebagainya. Dalam hal ini terdapat juga nama-nama
marga yang sama dari asal subetnis Batak lain, maka nama-nama tertentu
semacam ini biasanya selalu disebutkan berikut dengan subetnisnya pada
saat memperkenalkan diri dengan anggota subentis Batak lain, misalnya
"Saya Purba Karo" atau "Saya Purba Simalungun". Seseorang yang berasal
dari luar masyarakat Karo yang hendak bergabung ke dalam masyarakat Karo
juga diberikan nama marga patrilineal atau matrilineal Karo karena
tanpa memiliki acuan identitas sosial semacam ini yang bersangkutan
mustahil berinteraksi dalam acara-acara penting di luar batas kegiatan
sehari-hari.
Istilah "Batak" umumnya tidak digunakan pada saat mereka saling
memperkenalkan diri satu sama lain kecuali jika mereka sedang
memperkenalkan diri mereka dengan orang-orang dari etnis lain (Sunda,
Jawa, dll). Di kalangan masyarakat mereka maupun subetnis Batak lain
biasanya mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai "kalak Karo" atau
orang Karo. Sedangkan bahasa asli Karo mereka sebut sebagai "cakap Karo"
atau "bahasa Karo". Berbeda halnya dengan kaum masyarakat Batak Pakpak
dan Batak Simalungun yang bertetangga dengan mereka, masyarakat Karo
belum begitu banyak terpengaruh oleh bahasa dan budaya masyarakat Batak
Toba. Selain dari kaum anak-anak dan kaum usia lanjut, orang-orang Karo
umumnya juga mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di
Indonesia. |
|
|
|
|
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar